Quick Count dan Tiga “M”: Mengapa Barometer Demokrasi Kita Masih Sering Mati Lampu

Indonesia Tribune — Quick Count dan Tiga “M”: Mengapa Barometer Demokrasi Kita Masih Sering Mati Lampu

Ketika pesta demokrasi digelar di Indonesia, hampir selalu ada satu bintang tamu tak diundang yang muncul di layar televisi: quick count. Ia datang lebih cepat daripada hasil resmi, lebih ramai dibicarakan daripada caleg itu sendiri, dan lebih sering disalahpahami daripada aturan tilang elektronik.

Namun di balik layar yang semarak itu, sejumlah kegelisahan akademik muncul. Salah satunya disuarakan oleh ahli statistika dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS, yang melihat bahwa quick count kita berpotensi tergelincir pada tiga “M”: Motivation, Methodology, dan Appreciation.

Pernyataan ini disampaikan beliau kepada Antara di Bogor, menanggapi riuh-rendah hasil quick count Pemilu Legislatif 2009. Dan meskipun tahun berganti, kekhawatiran itu terasa tetap relevan pada setiap musim politik, seperti lagu lama yang diputar ulang—hanya dengan remix berbeda.

Quick Count: Ilmu Serius yang Terlanjur Jadi Hiburan Prime Time

Jika mengikuti jalur akademik yang benar, quick count sebenarnya bukan musuh demokrasi. Ia adalah produk sains, berakar pada statistika yang ketat, perhitungan probabilitas yang elegan, serta metode sampling yang telah dipakai negara-negara dengan “peradaban statistik” tinggi—negara yang masyarakatnya sudah akrab dengan konsep margin of error, bukan hanya margin of feeling.

“Metode quick count itu sangat legitimate dan punya tanggung jawab ilmiah,” ujar Prof. Khairil. “Di negara dengan budaya sains maju, quick count digunakan sebagai barometer yang kredibel untuk memprediksi hasil pemilu.”

Di negara-negara itu, quick count diperlakukan bak instrumen ilmiah: dingin, objektif, dan tidak mudah dipengaruhi teriakan penonton. Beda dengan di sini, di mana quick count kerap menjadi drama televisi yang ditonton sambil makan gorengan—kadang sambil memarahi presenter, seolah mereka bisa mengubah persentase suara lewat remote TV.

Masalah Pertama: Motivation — Ketika Ilmu Diseret ke Arena Politik

Motivasi lembaga survei sering menjadi pertanyaan: apakah mereka murni mencari kebenaran statistik, atau sekadar ingin menjadi bagian dari “tim hore” politik tertentu?

Prof. Khairil melihat adanya risiko malformation—cacat bawaan—ketika lembaga survei memulai pekerjaannya bukan dari data, tetapi dari pesanan. Bila motivasi sudah janggal, maka hasil quick count lebih mirip ramalan cuaca pada musim pancaroba: penuh kemungkinan, sulit dipercaya, dan kadang sengaja dibuat cerah untuk promosi wisata.

Di titik ini, quick count bukan lagi alat prediksi, melainkan alat persuasi. Dan jika persuasi yang lebih diutamakan, sains bisa berubah menjadi seni sulap.

Masalah Kedua: Methodology — Statistik Tidak Pernah Bohong, Tapi Penggunanya Bisa

Secara teori, metodologi quick count sangat solid. Tetapi seperti halnya pisau dapur yang bisa digunakan untuk memasak atau hal-hal yang kurang terhormat, metode ilmiah pun bisa dipelintir jika jatuh ke tangan yang salah.

Sampel yang tidak acak, TPS yang dipilih secara bias, waktu penghitungan yang dimanipulasi, hingga kekurangtelitian dalam input data, semuanya dapat menghasilkan prediksi yang salah arah.

“Metode quick count yang digunakan secara tidak profesional berpotensi mencederai hasil,” ungkap Prof. Khairil.

Statistika adalah bahasa yang sangat jujur, tetapi ia juga sangat sensitif. Sedikit saja salah pencatatan, hasilnya bisa memantul jauh dari kenyataan. Bila metodologi tidak dijaga ketat, quick count bisa berubah menjadi quick wrong.

Masalah Ketiga: Appreciation — Publik yang Masih Mengira Quick Count Adalah Hasil KPU

Masalah apresiasi muncul dari cara publik memahami quick count. Banyak yang menganggapnya sebagai hasil final—bahkan lebih final daripada hasil resmi KPU.

Ini bukan salah publik semata. Media sering memoles quick count seperti pengumuman juara kompetisi, lengkap dengan grafik dramatis, musik tegang, dan komentar yang menggiring narasi. Tak heran jika masyarakat menaruh harapan besar, bahkan terlalu besar, pada angka-angka sementara itu.

Padahal quick count hanyalah potret cepat, bukan paspor resmi menuju kursi legislatif. Ia seperti spoiler film—memberi gambaran, tapi tidak menjamin twist di akhir cerita.

Prof. Khairil mengingatkan bahwa apresiasi publik terhadap quick count perlu diletakkan dalam konteks yang benar. Jika tidak, masyarakat bisa kecewa, saling curiga, atau bahkan menuduh “permainan angka” padahal yang salah hanyalah cara membaca hasil.

Akhir Kata: Demokrasi Memang Butuh Data, Tapi Data Juga Butuh Etika

Di Indonesia, quick count bukan sekadar fenomena ilmiah. Ia sudah menjadi bagian dari budaya politik pop—setara dengan baliho ukuran kolosal dan jargon kampanye yang mendadak puitis.

Tapi demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan pemilih yang cerdas dan penyelenggara jujur. Ia juga membutuhkan data yang lahir dari niat yang benar, diproses dengan metode yang tepat, dan diapresiasi secara proporsional.

Jika tiga “M” yang disorot Prof. Khairil bisa dibenahi—Motivation yang murni, Methodology yang disiplin, dan Appreciation yang dewasa—maka quick count dapat kembali ke fitrahnya: alat bantu, bukan alat gaduh.

Sampai saat itu tiba, quick count mungkin akan terus menjadi ritual demokrasi yang kita tonton dengan antusias… sambil terus bertanya-tanya: ini ilmu atau hiburan?



Post a Comment for "Quick Count dan Tiga “M”: Mengapa Barometer Demokrasi Kita Masih Sering Mati Lampu"