Truk Dakwah: “Utamakan Sholat & Keselamatan Kerja”

Pesan dakwah dari belakang truk..

Di sebuah pagi menjelang siang yang teduh, saya sedang melaju di sebuah perjalan. Lalu lintas mengalir cukup padat, namun stabil. Di depan saya, sebuah truk boks tua berjalan perlahan. Kabinnya berwarna kuning, warnanya sudah sedikit pudar karena usia. Sedangkan bagian boksnya berwarna silver, tetapi bukan silver mengilap yang memantulkan cahaya, melainkan silver yang lusuh — penuh goresan tipis dan bekas tempelan stiker yang sudah dilepas.

Awalnya, truk itu tidak menarik perhatian sama sekali. Hanya kendaraan pengangkut barang yang bekerja keras dari hari ke hari. Namun saat jarak dengan kendaraan saya semakin dekat, saya melihat sesuatu yang membuat saya terpaku beberapa detik. 

Di pojok kiri bawah bagian belakang boks, menempati kira-kira seperenam area, terdapat tulisan berwarna hijau. Tidak besar, tidak mencolok, tetapi cukup jelas untuk terbaca bahkan dari kejauhan. Tulisan itu berbunyi:

“Utamakan Sholat & Keselamatan Kerja”
di samping gambar gerigi logo keselamatan kerja — simbol yang sangat akrab bagi para pekerja industri.

Entah kenapa, hati saya bergetar ketika membacanya. Bukan karena desainnya indah. Bukan karena bahasanya puitis. Justru sebaliknya: tampilannya benar-benar sederhana, bahkan hampir tidak menarik. Namun ada kekuatan yang muncul dari kesederhanaan itu. Seakan-akan pesan tersebut bukan hanya ditempelkan sebagai formalitas, melainkan sebagai pengingat tulus dari sesama manusia di jalan raya.

Sesaat, saya ingin memotret tulisan itu. Rasanya seperti momen yang sayang untuk dilewatkan. Tetapi keinginan itu langsung tertahan, karena saya sadar: mengambil ponsel saat mengemudi bertentangan dengan pesan keselamatan yang baru saja saya baca. Bahkan sebelum mengangkat ponsel, saya sudah merasa seperti sedang diuji: Apakah saya benar-benar memahami makna “keselamatan kerja” — atau bahkan sekadar keselamatan berkendara?

Akhirnya, saya tidak memotret. Saya hanya menahan setir dengan mantap dan membiarkan truk itu tetap berjalan di depan, sambil mengamati pesannya untuk beberapa saat. Mungkin memang begitu seharusnya: ada momen yang cukup disimpan dalam hati, bukan di galeri ponsel.


Melihat tulisan hijau itu, pikiran saya langsung melayang kembali ke Arab Saudi, tempat di mana saya dulu sering melihat slogan-slogan keselamatan kerja terpampang besar di berbagai fasilitas: proyek konstruksi, kilang minyak, pabrik, hingga terminal bandara.

Ada satu slogan yang paling sering muncul, bahkan pada banyak papan informasi keselamatan resmi. Slogannya ditulis dalam tiga bahasa: Inggris, Arab, dan kadang Urdu atau Hindi.

THINK — فَكِّر
SAFETY FIRST — السَّلَامَةُ أَوَّلًا

Tulisan Arab itu terbaca:

  • فَكِّرfakkir → “pikirkan / think”

  • السَّلَامَةُ أَوَّلًاas-salāmah awwalan → “keselamatan yang utama / safety first”

Biasanya teks tersebut dicetak di atas papan putih dengan header hijau — persis seperti gambar rambu keselamatan resmi yang sering dipasang di area industri Saudi.

Setiap kali melihatnya dulu, saya memang paham maksudnya. Tetapi momen ketika saya membaca tulisan di truk boks Indonesia itu, anehnya, rasa yang muncul jauh lebih kuat. Mungkin karena konteksnya berbeda. Di Saudi, pesan keselamatan itu adalah bagian dari budaya industri yang sangat formal dan terstruktur. Sementara tulisan di truk itu — lusuh, kecil, tak terstandarkan — terasa jauh lebih personal.

Di Saudi, tulisan “السلامة أولاً” hampir menjadi mantra nasional. Namun di Indonesia, pesan “Utamakan Sholat & Keselamatan Kerja” terasa seperti gabungan dua dunia: dunia spiritual dan dunia praktis; dunia ibadah dan dunia kerja; dunia batin dan dunia fisik. Dua hal yang selama ini mungkin sering dipisahkan, namun kenyataannya saling menguatkan.


Saya kemudian merenungkan mengapa pemilik truk itu memilih menggabungkan dua pesan tersebut. Mengapa bukan hanya “Utamakan Keselamatan Kerja”, atau hanya “Utamakan Sholat”?

Jawabannya mungkin terletak pada satu hal: kedisiplinan.

Sholat adalah rangkaian waktu yang teratur. Ia hadir lima kali sehari untuk mengajak manusia berhenti sejenak, melihat ke dalam diri, dan mengembalikan fokus pada hal-hal yang esensial. Keselamatan kerja pun demikian. Ia bukan sekadar aturan teknis, melainkan bentuk kesadaran bahwa hidup ini rapuh, dan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.

Sholat mengatur hati.

Keselamatan kerja mengatur tindakan.
Dua-duanya mengajarkan tidak boleh ceroboh — baik dalam ibadah maupun dalam menjaga diri.

Dan ironisnya, saya disadarkan hal itu justru ketika hampir mengangkat ponsel untuk memotret pesan tersebut.


Truk itu terus melaju hingga akhirnya berbelok ke arah kiri dan menghilang dari pandangan saya. Tetapi perasaan hangat yang tertinggal tidak ikut pergi. Saya merasa seolah mendapat nasihat yang sederhana tetapi tepat sasaran.

Pesan itu bukan ceramah. Bukan khutbah. Bukan papan iklan besar. Hanya tulisan kecil di bagian belakang truk tua.

Namun, bukankah sering kali pengingat paling ampuh justru datang dari tempat-tempat yang tidak terduga?

Saya tidak punya fotonya. Yang tersisa hanya kesan — dan mungkin itu sudah cukup.

Karena beberapa pesan memang tidak perlu diabadikan dalam bentuk gambar.
Yang penting adalah ia tertinggal dalam hati.

Post a Comment for "Truk Dakwah: “Utamakan Sholat & Keselamatan Kerja”"